Opening SBC (Syifa BasketBall Cup)
Syifa BasketBall Cup 2014. Acara Ini Adalah event tahunan BEM As-Syifa Boarding School seiringnya ada Hari Raya Iedul Adha / Iedul Qurban. Acara Ini temanya adalah Quban Cup Yang Bernama Syifa BasketBall Cup....
Idul Adha #Qurban #1435H
Foto-Foto Dokumentasi Suasana Idul Qurban 1435H di SMAIT As Syifa Boarding School Putra You Want Look? Klick In Here!
Sekolah Kerja Nyata (Cupunegara)
SKN atau Sekolah Kerja Nyata adalah agenda tahunan SMAIT As-Syifa khusus bagi murid-murid kelas 11. Sesuai namanya, SKN terinspirasi dari kegiatan mahasiswa yaitu...
Ramadhan di Asbosch
Ramadhan tiba… Ramadhan tiba… Ramadhan tiba… Asek dah, setelah satu tahun kita ditinggal tamu agung ini, akhirnya allah mempertemukan kita lagi...
Party Foremost
Foto-Foto Dokumentasi Suasana Pesta Anak-anak... eweuh gawe... You Want Look? Klick In Here!
Senin, 06 Oktober 2014
Opening SBC (Syifa BasketBall Cup)
Minggu, 05 Oktober 2014
Idul Adha #Quban #1435 @SMAIT As-Syifa Boarding School Subang
Minggu, 28 September 2014
Sekolah Kerja Nyata (Cupunegara)
Minggu, 24 Agustus 2014
Janjiku (oleh Sholih)
Ramadhan di Asbos
Ramadhan tiba… Ramadhan tiba… Ramadhan tiba…
Kamis, 21 Agustus 2014
The Truth of Life
Anak Religius Kesulitan Membedakan Fakta dan Fiksi
Paparan terhadap ajaran agama memengaruhi kemampuan anak dalam membedakan fakta dan fiksi. Hal itu terungkap dalam publikasi riset di jurnal Science Cognitive.
Anak-anak yang aktif dalam kegiatan keagamaan, misalnya di gereja, terlampau mafhum terhadap karakter dalam cerita kitab suci ataupun fantasi.
Kathleen H Corriveau, dari School of Education di Boston University, dan rekannya melakukan penelitian dengan melibatkan sejumlah anak berusia 5-6 tahun.
Anak-anak dibagi dalam 4 kelompok, yakni yang belajar di sekolah umum dan ke gereja, di sekolah umum tetapi tidak ke gereja, di sekolah agama dan ke gereja, serta di sekolah agama tetapi tidak ke gereja.
Semua anak diperkenalkan pada tiga jenis cerita, yaitu cerita kitab suci, cerita fantasi (penuh keajaiban), serta cerita yang realistis (unsur ilahi dan keajaiban dihilangkan).
Selanjutnya, semua anak diminta untuk menilai karakter protagonis dalam cerita, apakah nyata atau fiksi.
Semua anak menyatakan bahwa karakter protagonis nyata dalam cerita realistis. Ini tidak mengejutkan.
Namun, ketika dihadapkan pada cerita kitab suci, penilaian masing-masing anak berbeda. Anak yang belajar agama lebih banyak menilai bahwa karakter protagonis dalam cerita itu nyata, sementara anak yang sekuler menilai fiksi.
Demikian pula ketika anak dihadapkan pada cerita fantasi. Anak yang kurang terpapar ajaran agama menilai bahwa tokoh protagonis beserta keajaiban dalam cerita itu fiksi.
Diberitakan situs IFLScience.com, Jumat (25/7/2014), Corriveau menilai bahwa agama membuat anak sulit membedakan antara fiksi dan nyata.
Peneliti mengakui bahwa faktor-faktor lain yang memengaruhi penilaian anak belum diperhitungkan dalam risetnya. Namun, ia beranggapan bahwa agama memang berperan penting.
Jadi, bagaimana dengan kita yang hidup di As-Syifa? Bukankah kita menuntut ilmu di sekolah agama dan kita selalu pergi ke Masjid? Jadi, kita tidak bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi dong?. Tentu saja tidak, dengan bersekolah di As-Syifa kita bukan hanya dapat membedakan mana yang fakta dan fiksi, tetapi kita mendapatkan yang lebih istimewa yaitu kita dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, yang bermanfaat dan yang merugikan. Bukankah Islam telah mengajarkan kita untuk mengamati sesuatu dengan lebih seksama, melihat kedalam lebih jelas. Itulah yang membedakan kita, kita bukan hanya tahu yang benar dan salah, tetapi kita tahu yang terbaik untuk kita dan alam semesta.
Dari : Sena
Kelas : 11-IIS
The Way (Oleh M Fauzan Yalasena)
Kualitas pemain kini tidak cukup untuk mengantarkan sebuah negara memenangkan Piala Dunia. Kemenangan Jerman dalam kompetisi sepak bola paling besar yang digelar di Brasil sejak Juni 2014 menunjukkannya.
Jerman mempermalukan Brasil dengan skor 7-1 dalam pertandingan babak semifinal. Dalam babak final, Jerman berhasil mengalahkan tim dari negara yang tak kalah tangguh permainan sepak bolanya, Argentina.
Apa kunci kemenangan Jerman dalam Piala Dunia 2014? Jawabannya adalah penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu menganalisis performa pemain dan menentukan strategi permainan.
Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh Jerman bisa dilihat dalam dua hal, yakni penggunaan Big Data untuk menganalisis permainan dan menentukan strategi serta program latihan inovatif yang berfungsi meningkatkan performa pemain.
Tim Jerman yang disponsori oleh Adidas dan Daimler, seperti dikutip Wall Street Journal, Kamis (10/7/2014), menggunakan solusi Big Data dari SAP. Solusi berupa sebuah tool bernama Match Insight.
Bekerja sama dengan 50 mahasiswa Universitas Olahraga Cologne, tim Jerman mengumpulkan data dari setiap tim lawan sebelum dan selama Piala Dunia, mulai dari pemain hingga strategi permainan yang dikembangkan, bahkan setiap artikel di koran tentang permainan lawan.
Para mahasiswa yang direkrut sendiri merupakan penggemar sepak bola. Sebelum mereka diberi hak untuk mengumpulkan dan menganalisis data, mereka diminta bersumpah untuk menjaga kerahasiaan data.
Dengan solusi itu, Jerman, misalnya, menganalisis permainan Brasil dalam empat tahun terakhir. "Kami punya data permainan Brasil tanpa Silva dan Neymar," kata Olivier Bierhoff, manager tim Jerman, dalam wawancara dengan ESPN, Selasa (8/7/2014) lalu.
Match Insight juga membantu tim Jerman melakukan evaluasi. Perangkat itu terhubung dengan kamera di lapangan yang bisa merekam pertandingan. Video rekaman berdurasi singkat bisa dikirim kepada pemain lewat perangkat mobile.
Bierhoff mengatakan, "Pemain mendapatkan beberapa contoh hal baik dan buruk yang dilakukan setiap pertandingan usai. Mereka bisa melihat kapan pun serta bisa juga mengecek data performa permainan."
Bukti bahwa Match Insight membantu, selain dalam kemenangan telak melawan Brasil, adalah saat bertanding melawan Perancis. Tim Jerman menjadi tahu, selama pertandingan, tim Perancis cenderung terkonsentrasi di tengah tetapi lemah di bagian sayap. Celah itu digunakan untuk menyerang.
Tak cuma Match Insight. Jerman, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (12/7/2014), juga menjadi satu-satunya tim yang menggunakan pelacak GPS untuk mendeteksi gerakan dan vitalitas pemain. Dengan itu, mereka meminimalisasi risiko cedera.
Selain perangkat lunak, Jerman juga menggunakan wawasan biologi dan kedokteran untuk meningkatkan performa pemain. Sebelum Piala Dunia, tim Jerman mengadakan latihan selama 10 hari di Alpen, Italia.
Mengapa Alpen? Wilayah itu berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Latihan di tempat itu akan memicu produksi hemoglobin, molekul yang membawa oksigen dalam peredaran darah. Dengan hemoglobin lebih banyak, pemain memiliki ketahanan lebih tinggi.
Delapan hari sebelum pertandingan, tim Jerman menuju tempat tinggal sementara mereka di Brasil di wilayah dekat Porto Seguro. Di sana, mereka punya tempat tinggal sementara dengan kapasitas 60 kamar yang dibangun setahun lalu oleh pengembang Hirmer Immobilien GmbH & Co.
Mengapa mereka tinggal di sana, tidak di hotel? Di tempat itu, tim Jerman belajar beradaptasi dengan kondisi tropis yang lembab. Sebelum Piala Dunia kali ini, Jerman belum memenangkan pertandingan yang digelar di Amerika Latin.
Langkah Jerman kali ini boleh jadi menandai era baru dalam pertandingan olahraga. Dalam pertandingan olahraga masa depan, bukan cuma kekuatan pemain yang diadu, melainkan juga kedigdayaan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maka, beruntunglah wahai kalian yang bersekolah di As-Syifa karena disana kita diajarkan untuk menyelesaikan problem dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi gunakanlah ilmu kalian untuk hal yang bermanfaat, dan gunakan laptop dan gadget kalian untuk menghasilkan suatu prestasi.
Dari : Sena
Kelas : 11-IIS
PENTINGNYA MEMPELAJARI BELADIRI (Oleh Faisal A J)